"Mbak, mbak periksa kehamilan ini?", tanyaku pelan-pelan biar ga kedengaran sama konsulen obgyn, sambil ku naikkan baju mbak itu dan mengoleskan gel untuk alat USG nya.
"Iya dokter", jawabnya singkat.
Aku terkejut, karena pada saat itu aku enggak menganamnesa mbak nya. aku di bagian pendamping konsulen. Perut si mbak nya belum terlalu besar, kalo pun hamil mungkin baru 3-4 bulan. Badan mbak nya kecil, masih belia lah. Karena itu makanya aku nanya.
"Usia mbak berapa?", tanyaku lagi, penasaran.
"19 tahun dok", jawabnya santai.
"Denger tuh, 19 tahun udah nikah, udah mau punya anak lagi. Lah kita, 22 tahun, masih gini-gini aja. Teguran ini loh", kataku dengan nada bercanda teman disampingku.
"Ya dokter enak, dokter punya karier", jawab mbak nya, sambil senyum kecil, tapi cukup dalam, sampai-sampai aku yang udah lama hengkang dari stase itu, masih ingat jelas gimana cara mbak nya menjawab.
"Setiap anak diwariskan tingkat intelektual dari kromosom 1 gen ibunya, bukan ayahnya. Oleh karena itu, carilah calon istri yang pandai, bukan yan cantik" - dr . DR. Rina Masadah, Sp,PA, M.Phil.
Aku cukup tertegun mendengar jawaban mbak nya itu. Aku baru nyadar, kenapa aku harus ngerasa "enggak adil" atau "enggak bersyukur" dengan hidup ini. Aku cuman butuh meningkatkan kesadaran, kalau sebenarnya banyak wanita-wanita yang punya semangat tinggi untuk sekolah, tapi terhambat bahkan terputus begitu saja dengan banyak alasan, seperti: keadaan ekonomi, orangtua masih berfikir "anak perempuan hanya diciptakan untuk mengurus rumah tangga", tuntutan bahwa tingginya sekolah ga penting dibandingkan kau kerja terus punya duit.
Di stase Obgyn aku menemukan bahwa "Dunia terlalu keras jika hidup wanita hanya untuk melahirkan dan mengurus anak". Hamil tidak selamanya indah. Enggak sedikit wanita yang melahirkan tanpa suami, enggak sedikit wanita yang hamil dengan hanya modal janji lelaki "Pasti aku tanggung jawab", enggak sedikit wanita yang ingin mengambil jalan pintas, aborsi, karena hamil tanpa suami atau sedang sakit HIV/AIDS. Banyak masalah sosial yang menyayat hati (sorry sob, bukan lebay, tapi sumpah aku simpati kali) dan bahkan aku kadang sampai nangis diam-diam kalo ngebayangin "If I were you, sister". Kebetulan aku tipe orang yang perasaannya kaya kerupuk, mudah baper.
"Ya dokter enak, dokter punya karier". Kalimat itu masih terekam jelas di seluruh jaringan otakku, bagaimana raut wajah, nada berbicara dan cara menyampaikan si mbak nya. Itu jadi motivasi banget buat wanita-wanita yang sebenarnya punya celah untuk mengenyam pendidikan, tapi malah menyia-nyiakan kesempatan. Itu cukup jadi tamparan keras untuk perempuan-perempuan yang masih memainkan masa sekolah. Memang benar, pada akhirnya nanti, wanita akan melahirkan dan lebih besar porsinya untuk membesarkan anak-anak, tapi apa enggak Keren kalo anak-anak dididik oleh wanita-wanita yang berpendidikan? Aku memang belum bisa ngebuktiin kalo aku itu udah bener ngejalanin hidup sebagai wanita seutuhnya. Tapi setidaknya, dengan adanya teguran-teguran ini bisa nyadarin kita, yang cewek-cewek ini, betapa pentingnya pendidikan.
"Entah akan berkarier atau menjadi ibu rumah tangga, seorang wanita harus berpendidikan tinggi. Karena mereka akan menjadi ibu. Ibu-ibu yang cerdas, akan melahirkan anak-anak yang cerdas" - Dian Sastro.
Aku pribadi, aku punya beberapa role mode kehidupan, seperti Mamaku, Michelle Obama, Hillary Clinton, Kate Middleton, Dian Sastro, Anna Avantie, Anissa Pohan dan beberapa perempuan-perempuan hebat lainnya. Mereka itu punya semangat yang ku anggap "aneh", karena bisa kerja sehebat itu dan pintar mengurus keluarganya. Entah bagaimana mereka mengatur waktu mereka yang rasanya 1 hari 24 jam itu tak cukup. Mereka punya pendidikan yang baik, tutur kata yang santun dan berkharisma, berpakaian anggun, dan rasa keibuan yang rasaku baik adanya. Bagiku, kita harus punya role mode kehidupan, kita bisa menyontek gimana dia menjalani kehidupannya dan kalo lagi ngerasa down atau patah semangat, kita punya "cambuk" untuk bangkit.
Jadi kamu siapa role mode kehidupannya?
Comments
Post a Comment