Segala penat, lelah, dan jenuh bertumpuk di satu sisi. Dan disini aku semakin mengerti, keputusan untuk tidak berkomitmen untuk pacaran masa sekarang, adalah keputusan yang pas. Mengambil keputusan bersama Tuhan, menghasilkan hal yang baik.
Ya sekaranh, aku ibarat anak balita yang mulai tumbuh, mulai mengangkat kepalanya walau bolak balik terjatuh, berusaha berjalan dengan kaki sendiri walau masih sering tersungkur. Tapi bedanya, bukan orangtuaku lagi yang mengangkatku, menolongku seperti saat aku bayi. Sekarang aku lebih mempercayakan langkahku padaNya, biar suka-suka Tuhan membimbingku, karena aku yakin, Bapa enggak menuntunku ke jurang, walau sedangkal apapun jurang itu.
Memang, dunia kerja itu kejam, terlalu banyak tetek-bengeknya, terlalu banyak "hal-hal" yang lebih kuat berbicara daripada hati nurani sendiri. Ketika kita ingin tetap idealis dengan jalan yang lurus, itu sulit. Aku baru tahu, menopang salib Tuhan Yesus itu berat, banyak kali peluh, kekesalan dan air mata, yang mengiringinya.
Memang orangtuaku mendidik aku, jangan takut kalau benar, berjalanlah sesuai peraturan yang ada, ikhlas saja yang bekerja itu. Apalah manusia, kalau Tuhan yang bekerja. Dan aku ngerasain itu. Aku sering memasrahkan saja ketika akal sehatku pun ga dapat melampaui "hal-hal" itu.
Permintaanku tidak banyak, cukup Tuhan menuntun jalanku dan memberkati segala perkerjaan tanganku. Rasaku itu bumbu kehidupan yang tidak ada duanya. Tuhan bersama aku dan keluargaku. Amin.
Halo Novia, salam sejawat..
ReplyDeleteBicara soal idealis dengan jalan yang lurus dan menunggu kebenaran terungkap, aku ingat dengan kutipan "Langit tidak perlu berkata kalau dirinya biru, dia sendiri yang menunjukkannya" jadi sabar saja.
Semangat ya co-assnya..
Thank you Helena, Maaf baru lihat komentar kamu. hehe.. Salam kenal, Teman Sejawat :)
ReplyDelete