"Lalu, apa yang bisa mengerti aku sekarang? Ketika dia sudah memakaikan cincin emas putih itu pada perempuan pilihan mamanya? Dia sudah tunangan", seorang sahabat menelfonku dari ujung pulau seberang.
"Sabarrr...", aku tak tahu harus menjawab apa.
"Sabar itu kata sifat, bukan kata kerja..", ketusnya.
Sahabat disana berubah dan sangat berubah dari yang ku kenal. Dia sekarang layu, akarnya hampir lelah menyerap air dari tanah. Aku diam, bukan tidak tahu mau menasehati apa. Aku tidak pernah diposisinya. Atas dasar apa aku bisa lebih bijak dari dia? *loh, kenapa aku yang galau coba?
"Harus rupanya perbedaan suku menyulitkan rasa yang udah dititipkan? Sebegitu kejamnya? Kalau begitu, kenapa aku harus bertemu dia di loket kereta api, kemudian bertanya tentang alamat rumah, lalu berakhir dengan tatapan yang tak pernah bisa aku lupakan?", suara seperti orang sedang flu mulai terdengar samar-samar.
"Ya, Nin..", responku.
"Sebegitu egoisnya hal yang harus aku lewati? Kemudian, jatuh bangun aku untuk tetap melihat senyumnya, cuman jadi pengalaman hidup?"
"Cinta tak harus memiliki, Nin.."
"Kadang, cinta butuh keegoisan. aku egois untuk memilihnya, dia pun begitu."
"Iya. aku tahu kalian tidak main-main dengan hubungan ini, terlebih kamu."
"Aku sangat merindukannya. Aku salah merindukannya?"
"Tidak.."
"Jadi harus dibuang kemana perasaan ini? Sudah membatu ini, aku kacau.."
"Kamu butuh palu.."
"Untuk apa?"
"Menghancurkan perasaanmu terhadapnya.. Kamu butuh orang yang keras seperti palu untuk mencintaimu dan menghilangkan dia dari ingatanmu.."
"Siapa?"
"Palu dibuat butuh waktu, dia tidak akan secepat itu.."
"Sabarrr...", aku tak tahu harus menjawab apa.
"Sabar itu kata sifat, bukan kata kerja..", ketusnya.
Sahabat disana berubah dan sangat berubah dari yang ku kenal. Dia sekarang layu, akarnya hampir lelah menyerap air dari tanah. Aku diam, bukan tidak tahu mau menasehati apa. Aku tidak pernah diposisinya. Atas dasar apa aku bisa lebih bijak dari dia? *loh, kenapa aku yang galau coba?
"Harus rupanya perbedaan suku menyulitkan rasa yang udah dititipkan? Sebegitu kejamnya? Kalau begitu, kenapa aku harus bertemu dia di loket kereta api, kemudian bertanya tentang alamat rumah, lalu berakhir dengan tatapan yang tak pernah bisa aku lupakan?", suara seperti orang sedang flu mulai terdengar samar-samar.
"Ya, Nin..", responku.
"Sebegitu egoisnya hal yang harus aku lewati? Kemudian, jatuh bangun aku untuk tetap melihat senyumnya, cuman jadi pengalaman hidup?"
"Cinta tak harus memiliki, Nin.."
"Kadang, cinta butuh keegoisan. aku egois untuk memilihnya, dia pun begitu."
"Iya. aku tahu kalian tidak main-main dengan hubungan ini, terlebih kamu."
"Aku sangat merindukannya. Aku salah merindukannya?"
"Tidak.."
"Jadi harus dibuang kemana perasaan ini? Sudah membatu ini, aku kacau.."
"Kamu butuh palu.."
"Untuk apa?"
"Menghancurkan perasaanmu terhadapnya.. Kamu butuh orang yang keras seperti palu untuk mencintaimu dan menghilangkan dia dari ingatanmu.."
"Siapa?"
"Palu dibuat butuh waktu, dia tidak akan secepat itu.."
Comments
Post a Comment